Alquran Edisi Kritis

Alquran Edisi Kritis

Oleh Taufik Adnan Amal

Di kalangan kaum muslim awam, teks dan bacaan yang ada dewasa ini di dalam mushaf Alquran diyakini sebagai rekaman lengkap dan otentik wahyu-wahyu Nabi Muhammad yang dikodifikasi Zayd ibn Tsabit berdasarkan otoritas Khalifah Utsman ibn Affan. Pernyataan Alquran dalam 15:9, dipandang sebagai garansi ilahi atas kemurnian mushaf tersebut dari berbagai perubahan dan penyimpangan, bahkan –menurut suatu pendapat yang ahistoris– dalam titik serta barisnya.

Di kalangan kaum muslim awam, teks dan bacaan yang ada dewasa ini di dalam mushaf Alquran diyakini sebagai rekaman lengkap dan otentik wahyu-wahyu Nabi Muhammad yang dikodifikasi Zayd ibn Tsabit berdasarkan otoritas Khalifah Utsman ibn Affan. Pernyataan Alquran dalam 15:9, dipandang sebagai garansi ilahi atas kemurnian mushaf tersebut dari berbagai perubahan dan penyimpangan, bahkan –menurut suatu pendapat yang ahistoris– dalam titik serta barisnya.

Tetapi, orang-orang yang mengetahui perjalanan historis Alquran menyadari bahwa keadaan sebenarnya tidaklah sesederhana itu. Fenomena kesejarahan Alquran yang awal justeru menunjukkan eksisnya keragaman tradisi teks dan bacaan kitab suci itu, yang kemudian menjadi alasan utama dilakukannya standardisasi Alquran oleh Utsman untuk kepentingan kohesi sosio-politik umat Islam.

Sementara bentuk teks Alquran dewasa ini, sebagaimana ditunjukkan sejumlah manuskrip utsmani, pada faktanya telah melalui serangkaian penyempurnaan tulisan, melalui perubahan-perubahan yang bersifat eksperimental, seirama dengan penyempurnaan aksara Arab yang mencapai puncaknya pada penghujung abad ke-9/3H. Sekalipun demikian, sejumlah inkonsistensi penulisan masih tetap tampak di dalamnya, akibat dari introduksi “setengah hati” ragam tulis Arab yang telah disempurnakan (scriptio plena) dalam penyalinan teks utsmani yang telah disepakati (textus receptus).

Demikian pula, bacaan (qiraã’ah) Alquran yang digunakan saat ini adalah dua dari empat belas versi bacaan tujuh (al-qirã’ãt al-sab‘) yang mendapat sanksi ortodoksi Islam pada abad ke10/4H. Masing-masing dari bacaan tujuh yang dihimpun Ibn Mujahid itu memiliki dua versi (riwayat), dan bacaan yang digunakan untuk teks Alquran dewasa ini adalah kiraah Ashim yang diriwayatkan Hafsh (Hafsh ‘an Ashim) dan kiraah Nafi‘ yang diriwayatkan Warsy (Warsy ‘an Nafi‘). Bacaan pertama digunakan dalam edisi standar Alquran Mesir (1923), yang menjadi panutan mayoritas umat Islam, dan bacaan kedua digunakan sejumlah kecil kaum Muslimin di barat dan barat laut Afrika, serta di Yaman, khususnya di kalangan sekte Zaydiyah.

Keempatbelas versi bacaan tujuh memang dipandang sebagai bacaan otentik Alquran yang bersumber dari Nabi. Tetapi, doktrin yang dikembangkan secara kaku oleh ortodoksi Islam telah menabukan penggabungan versi-versi itu untuk menciptakan bacaan yang lebih baik, ditinjau dari berbagai sudut pandang. Ibn Mujahid, otoritas paling berpengaruh dalam hal ini, tidak memperkenankan penggabungan antara ragam bacaan yang memiliki asal-usul berbeda, dan menuntut setiap sistem bacaan mesti disampaikan dalam keseluruhan bentuknya tanpa perubahan. Padahal, dalam kenyataannya, sistem-sistem bacaan itu dibentuk para imam kiraah dengan menggabungkan dan menyeleksi –istilah teknisnya ikhtiyãr (“seleksi”)– berbagai bacaan yang mereka terima berdasarkan prinsip mayoritas (ijma‘).

Imam Nafi‘, misalnya, menegaskan telah membaca Alquran di depan 70 orang tabi‘in, dan mengambil bacaan yang disepakati –minimal dua orang di antaranya– serta meninggalkan bacaan menyimpang, hingga berhasil menyusun kiraahnya. Senada dengan ini, al-Kisa’i dikabarkan berujar telah menyeleksi dari kiraah Hamzah dan lainnya suatu bacaan moderat (mutawassithah) yang tidak menyimpang dari jejak imam-imam kiraah sebelumnya.

Dengan demikian, tidak ada alasan yang solid dan absah untuk menafikan upaya penyuntingan kembali suatu edisi kritis Alquran. Salah satu keberatan terhadap edisi Alquran yang meramu bacaan tujuh ini –dan mungkin juga melibatkan varian non-utsmani– adalah ia mengganggu stabilitas teks dan bacaan yang telah diupayakan selama berabad-abad. Tetapi, kita hanya perlu menengok ke dalam manuskrip-manuskrip Alquran dan sejarah untuk menemukan bahwa teks Alquran telah mengalami berbagai bentuk penyempurnaan yang bersifat eksperimental, dan bahwa imam-imam besar kiraah pada faktanya juga telah melakukan ikhtiyãr ketika membangun sistem bacaannya.

Edisi kritis Alquran ini tentunya diarahkan untuk menghasilkan bentuk teks Alquran yang lebih memadai dan mudah dibaca. Sementara teks itu sendiri akan didendangkan dengan suatu bentuk bacaan yang merupakan ramuan “terpilih” dari berbagai warisan kesejarahan tradisi kiraah umat Islam.

Berbagai inkonsistensi dalam penulisan teks –seperti penggunaan tã’ mabsûthah sebagai pengganti tã’ marbûthah dalam kata rahmah, ni‘mah, dll., penggantian alif dengan waw dalam kata shalãh, zakãh, dll., penulisan mimmã atau allã yang terkadang disalin terpisah dan terkadang digabung, serta lainnya– yang memperlihatkan upaya mengakomodasi berbagai perkembangan tradisi oral dan tulisan Alquran yang eksis di kalangan kaum Muslimin ketika itu, barangkali perlu dibenahi.

Pada titik ini, mesti disepakati bahwa ragam tulis adalah produk budaya manusia yang berkembang selaras dengan perkembangan manusia. Tulisan, seperti dinyatakan Abu Bakr al-Baqillani, hanyalah simbol-simbol yang berfungsi sebagai isyarat, lambang dan rumus yang digunakan untuk memudahkan pembacaan. Karena tujuan penulisan Alquran adalah untuk memudahkan pembacaannya secara tepat, maka penyempurnaan teksnya mesti mengabdi pada tujuan tersebut.

Selain butir-butir yang telah dikemukakan, peramuan ragam kiraah untuk menghasilkan bacaan yang lebih memadai juga menjadi signifikan karena beberapa hal: Pertama, dua bacaan yang digunakan dewasa ini terkadang tidak bersesuaian dengan textus receptus utsmani. Bentuk teks ãtãni atau ãtãnî-llãh dalam 27:36, misalnya, dibaca oleh Nafi‘ dan Hafsh ‘an Ashim sebagai ãtãniya-llãh.

Kedua, dalam kasus-kasus tertentu, kedua bacaan tersebut dapat dipermasalahkan dari sudut pandang linguistik. Para pakar bahasa, misalnya, secara bulat menyalahkan Nafi‘ ketika membaca kata nabîyîna dalam 2:58 sebagai nabî’îna, atau kata al-barîyah dalam 98:6 sebagai al-barî’ah, atau ‘asaytum dalam 2:246 sebagai ‘asîtum. Sementara bacaan Hafsh dari Ashim untuk 20:63, yakni hadzãni, secara gramatik keliru dan semestinya dibaca hadzayni, seperti bacaan Abu Amr dan Nafi‘.

Ketiga, dalam berbagai kasus, kedua bacaan resmi itu menampakkan bias –misalnya bias gender, seperti ditunjukkan Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender (1999). Disamping itu, keduanya terkadang tidak sejalan dengan konteks langsung Alquran dan nalar rasional manusia. Jadi, bacaan nusyran untuk 7:57, yang dibaca antara lain oleh Ibn Amr dan Ibn Katsir, misalnya, lebih sesuai dengan konteks dan nalar dibandingkan bacaan busyran dalam bacaan Hafsh dari Ashim.

Karena itu, seleksi ragam kiraah untuk edisi kritis Alquran, selain berpijak pada prinsip-prinsip klasik seperti keselarasan bacaan dengan teks dan kaidah-kaidah linguistik, mesti didasarkan pada pemerhatian cermat terhadap konteks langsung Alquran di mana suatu varian bacaan akan ditempatkan. Disamping mempertimbangkan implikasi makna terjemahan dan penyimpulan hukum suatu pilihan bacaan, seleksi tersebut juga harus mempertimbangkan nilai-nilai universal yang diyakini kebenarannya oleh manusia. Wa-llãhu a‘lam bi-l-shawãb.

~ oleh ibnuazka pada 5 Oktober 2009.

4 Tanggapan to “Alquran Edisi Kritis”

  1. Hermeneutika & Bahayanya (bag 2)

    Contoh nyata

    Sekarang ada Gerakan Sistematis yang di antara kerjanya membuat keraguan tentang kemurnian Al-Qur’an. Gerakan itu secara aktif menulis di berbagai media massa termasuk internet, di samping menyebarkan penghujatan akan kemurnian Al-Qur’an lewat buku.

    Mereka bekerja secara sistematis, terprogram, terorganisir, bahkan lewat jalur intelektual tingkat akademis. Di antaranya mereka berada di lembaga-lembaga JIL (Jaringan Islam Liberal) dan Paramadina. Sedang jalur-jalur untuk menyebarkan faham tersebut di antaranya Majalah Syir’ah, Kantor Berita Radio 68H, Koran Jawa Pos dengan cabang-cabangnya (koran daerah sekitar 40-an koran), pencetakan buku, dan website Islamlib.com milik JIL.

    Sebagai contoh bukti, di antaranya:

    (1) Tulisan Luthfi Assyaukanie dosen Paramadina Jakarta (Merenungkan Sejarah Al-Qur’an dimuat di website islamlib.com, 17 November 2003).
    (2) Tulisan Luthfi Assyaukanie dosen Paramadina Jakarta (Sejarah Al-Qur’an Rejoinder, dimuat di islamlib.com, 8 Desember 2003, sebagai pembelaannya terhadap tulisan no.1).
    (3) Tulisan Taufiq Adnan Amal dosen IAIN Makassar (Al-Quran Edisi Kritis, dimuat di islamlib.com, 28/10/ 2001, juga dimuat di buku tentang JIL)
    (4) Tulisan Taufiq Adnan Amal dosen IAIN Makassar (Al-Quran Antara Fakta dan Fiksi, dimuat di islamlib.com, 25/11/ 2001).
    (5) Buku karangan Taufiq Adnan Amal dosen IAIN Makassar berjudul Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an terbitan FKBA (Forum Kajian Budaya dan Agama), Jogjakarta, 2001.
    (6) Laporan Majalah Syir’ah, Pembaruan al-Qur’an ala Indonesia (Syir’ah Vol 2, No 3, tanggal 25 Januari- 25 Februari 2002). Dalam laporan itu dikutip pendapat Taufik Adnan Amal, di antaranya sebagai berikut:

    “Berdasarkan temuan kontemporer yang diangkat beberapa pemikir terkemuka Timur Tengah, terdapat salah satu ayat yang tidak berbunyi “innad dina ‘indallah al-Islam” tetapi “innad dina ‘inda Allah al-hanifiyyah”.

    “Pada versi pertama, kata Islam kan dimaknai sebagai yang bersifat antropologis atau sekadar Kartu Tanda Beragama (KTB) yang dari sini muncul klaim bahkan menyalahkan agama yang lain ataupun berbuntut kebencian dan pertikaian antara agama. Yang kedua, kata al-hanifiyyah yang berarti sikap kepatuhan dan kepasrahan lebih menunjukkan wajah Islam yang toleran dan damai, dan ini sangat kontekstual dengan kondisi masyarakat kita saat ini,” ungkapnya.

    Walhasil, Mushaf al-Qur’an yang menjadi pegangan umat Islam secara luas termasuk yang disosialisasikan Depag sejak 1984 tidak lain adalah Mushaf hasil kodifikasi Khalifah Utsman. Dan apakah upaya Departemen Agama ini akan tidak berefek negatif bagi umat Islam seperti terjadi pada masa Utsman?

    Bisa dilihat pula contoh nyata akibat mengusung hermeneutika di antaranya:
    Buku Fiqih Lintas Agama terbitan Paramadina Jakarta 2003.

    Islam liberal ingin menjadikan kitab suci Al-Qur’an seperti kitab injil yang ditulis dengan berbagai bahasa.

    Kutipan:
    “Dalam menajam komitmen toleransi dan pluralisme fiqh, diperlukan hermeneutika yang setidaknya bisa melakukan perubahan yang sangat mendasar dalam tradisi fiqh klasik.

    Pertama: Mengimani teks sebagai produk budaya. Teks dan budaya adalah dua mata uang logam yang tidak bisa dipisahkan. Tatkala bicara tentang teks, sebenarnya bicara tentang budaya, juga sebaliknya. Karenanya, perlu dilakukan dekontruksi keyakinan teologis dan eksistensi teks sebagai wahyu Tuhan, menjadi wahyu yang dibentuk dan disempurnakan oleh budaya.

    Kedua: Mengimani sebagai wahyu progresif sehingga tidak menjadi Ideologis dan dijadikan alat justifikasi kekuasaan politik. Apabila terdapat pertentangan antara teks dan problem kemanusiaan, maka dengan sendirinya teks tidak dapat dipergunakan.

    Ketiga: Mengimani adanya paradigma emansipatoris yang sejalan dengan komitmen wahyu, seperti Al Qur’an sebagai teks terbuka, kesetaraan, kemanusiaan, pluralisme, pembebasan, kesetaraan, keadilan gender, tidak diskriminatif.

    Tanggapan:
    Pernyataan pertama, kedua dan ketiga yang dikutip di atas adalah pernyataan iblis yang mensejajarkan antara teks al Qur’an dan budaya manusia seperti dua mata uang logam yang tidak bisa dipisahkan.

    Teks Al-Qur’an adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw melalui malaikat Jibril, sedangkan budaya adalah hasil dari budi dan daya manusia. Teks Al-Qur’an adalah kalamullah bersifat Ilahiyyah sedangkan budaya adalah hasil budi daya manusia yang bersifat duniawi. Saya kira, hanya para budak Orientalis serta budak kuffar saja yang berani menyamakan antara teks al Qur.an dengan budaya manusia, apalagi berani mengatakan bahwa al Qur’an sebagai teks terbuka yang dibentuk dan disempurnakan oleh budaya.. Para budak Orientalis ini bukan tidak tahu/ tidak pernah membaca ayat Al Qur’an yang berbunyi:

    Artinya: Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat KU dan telah Kuridloi Islam itu menjadi agama bagimu ( Al Maidah ayat 3 ).

    (Demikian tanggapan M Amin Djamaluddin, ketua LPPI di Jakarta).

  2. Seperti kita ketahui, ide membuat Edisi Kritis Al-Quran di Indonesia, pernah dilontarkan oleh Taufik Adnan Amal, dosen UIN Makasar yang juga pernah kuliah di Jerman. Di dalam buku Wajah Liberal Islam di Indonesia terbitan Jaringan Islam Liberal (2002:78) dimuat sebuah tulisan berjudul “Edisi Kritis Alquran”, karya Taufik Adnan Amal. Tulisan itu memberikan gambaran bahwa masih ada persoalan dengan “validitas” teks Alquran yang oleh kaum Muslim telah dianggap tuntas.

    Rencana penulisan Al-Quran Edisi Kritis itulah yang kemudian dikritik oleh Dr. Ugi Suharto, melalui dialog langsung dengan saudara Taufik Adnan Amal. Dalam soal qiraat, misalnya, Taufik mengajukan pemikiran tentang perlunya digunakan qiraat pra-Utsmani. Dalam emailnya kepada Dr. Ugi, Taufik menulis:
    “Kenapa qiraat di luar tradisi utsmani digunakan? Alasannya sederhana sekali: kiraat pra-utsmani terkadang memberikan makna yang lebih masuk akal dibanding Idalam tradisi teks utsmani. Saya ingin mengulang kembali contoh yang pernah dikemukakan Luthfi dalam postingnya yang terdahulu: Bacaan “ibil” (unta, 88:17) dalam konteks 88:17-20, sangat tidak koheren dengan ungkapan “al-sama'” (langit), “al-jibal” (gunung-2), dan “al-ardl” (bumi). Dalam bacaan Ibn Mas’ud, Aisyah, Ubay, kerangka grafis yang sama dibaca dengan mendobel “lam”, yakni “ibill” (awan). Bacaan pra-utsmani ini, jelas lebih koheren dan memberikan makna yang lebih logis ketimbang bacaan mutawatir ibil. Demikian pula, bacaan Ubay dan Ibn Mas’ud “min dzahabin” untuk 17:93, memiliki makna yang lebih tegas dibanding bacaan “min zukhrufin” dalam teks utsmani. Masih banyak contoh lainnya yang bisa dielaborasi untuk butir ini.”

    Lalu, terhadap gagasan ini, Dr. Ugi menjelaskan kepada Taufik Adnan Amal:
    ”Contoh-contoh qira’ah yang Anda kemukakan untuk dijadikan Quran Edisi Kritis itu sudah diketahui oleh para sarjana. Mereka tidak keliru seperti Anda, dengan mencampur-adukkan antara qira’ah dan Al-Quran. Contoh “ibil” dengan “ibill” yang Anda pilih juga sudah diketahui lama oleh mereka. Lihat saja dalam tafsir al-Qurtubi yang bagi Anda menterjemahkannya itu sama dengan status quo alias mandeg. Saya akan buktikan bahwa Anda belum melampaui apa-apa dari Imam al-Qurtubi itu dan Anda mungkin belum membacanya juga mengenai “ibil” (takhfif) dan “ibill” (tatsqil) disitu. Dalam tafsir itu dikatakan oleh imam al-Mawardi bahwa perkataan “ibil” (takhfif) mempunyai dua makna: pertama unta, dan yang kedua awan yang membawa hujan. Dari sini kita berkesimpulan bahwa rasm “ibil” itu bisa memuat makna unta dan awan sekaligus, sedangkan apabila ditulis “ibill” (tatsqil) ia hanya memuat makna awan semata-mata. Jadi mana yang lebih komprehensif menurut “akal” Anda? Satu lagi, menurut al-Qurtubi perkataan “ibil” itu mu’annats (feminin) oleh itu sesuai dengan ayatnya “khuliqot”. Bagaimana dengan “ibill”?”

    Demikianlah, kita bisa melihat, bahwa gagasan untuk membuat Al-Quran Edisi Kritis yang dimunculkan oleh para orientalis Jerman dan murid-muridnya di Indonesia ternyata masih terus disebarkan. Jika dulu gagasan seperti ini hanya tersimpan di buku-buku orientalis Yahudi-Kristen di pusat-pusat studi Al-Quran Barat, kini gagasan itu mulai diusung secara resmi dalam ruang kuliah di kampus Islam dan forum Konferensi Tahunan Studi Islam di Indonesia. Kita patut kagum terhadap para orientalis yang telah berhasil mendidik kader-kadernya dengan baik, sehingga menjadi penyambung lidah mereka.

    Sebenarnya, kita yakin, para murid orientalis Yahudi-Kristen ini tidak akan mampu mewujudkan Al-Quran Edisi Kritis. Barangkali, mereka juga sadar akan hal itu, karena untuk ini mereka sangat tergantung kepada ”tuan-tuan” mereka di Barat. Hanya saja, sepak terjang mereka sepertinya lebih ditujukan untuk menebar virus keraguan (tasykik) terhadap otentisitas Al-Quran.

    Kepada penggagas Al-Quran Edisi Kritis, Dr. Ugi Suharto juga mengingatkan nasehat Abu ‘Ubayd yang pernah berkata:
    “Usaha Utsman (r.a.) mengkodifikasi Al-Quran akan tetap dan sentiasa dijunjung tinggi, karena hal itu merupakan sumbangannya yang paling besar. Memang di kalangan orang-orang yang menyeleweng ada yang mencelanya, namun kecacatan merekalah yang tersingkap, dan kelemahan merekalah yang terbongkar.”

    Mushaf Utsmani adalah satu-satunya Mushaf Al-Quran yang telah disepakati seluruh kaum Muslim, sejak awal, hingga kini, dan sampai akhir zaman. Para sahabat, termasuk Ali r.a. pun semua menyepakati otoritas Mushaf Utsmani. Dalam bukunya, Metodologi Bibel dalam Studi Al-Quran: Kajian Kritis (2006), Adnin Armas, telah banyak mengklarifikasi pemikiran-pemikiran para orientalis yang meragukan otentisitas Al-Quran. Sayyidina Ali sendiri menyatakan: ”Seandainya Utsman belum melakukannya, maka aku yang melakukannya.”

    Kita bisa memahami jika para orientalis Yahudi-Kristen berusaha meruntuhkan otoritas Al-Quran, karena Al-Quran adalah satu-satunya Kitab yang memberikan kritik secara mendasar terhadap Kitab mereka. Karena itu, meskipun mereka bertahun-tahun mendalami Al-Quran, tetap saja mereka tidak beriman kepada Al-Quran. Tetapi, kita tidak mudah memahami, mengapa ada orang dari kalangan Muslim yang berhasil dicuci otaknya sehingga menjadi penyambung lidah para orientalis untuk menyerang Al-Quran. Kita patut kasihan, jauh-jauh belajar Al-Quran ke luar negeri akhirnya pulang ke Indonesia justru menjadi ragu dan menyebarkan keraguan tentang Al-Quran. Mudah-mudahan kita semua terhindar dari ilmu yang tidak bermanfaat; yakni ilmu yang tidak membawa kepada keyakinan dan ketaqwaan. Amin. [Jakarta, 7 Desember 2007/www.hidayatullah.com]

  3. SEBUAH KAJIAN KRITIS

    Penulis : M. Maskur

    I. Pendahuluan

    Al-Qur’an Edisi Kritis merupakan sebuah istilah yang sudah baku di kalangan orientalis, khususnya bagi mereka yang mengkaji al-Qur’an. Istilah ini merupakan sebuah ide yang digagas oleh Arthur Jeffery, untuk meruntuhkan otoritas al-Qur’an. Walaupun gagasan al-Qur’an edisi kritis ini berasal dari seorang orientalis, tapi pengaruh gagasan ini sudah menyebar kepada sebagian pemikir umat Islam. Para pemikir Islam liberal sudah memakai istilah ini untuk menggugat otentisitas al-Qur’an.[1] Mereka mencoba meyakinkan bahwa Mushaf Utsmani masih bermasalah sehingga tidak perlu disucikan. Ironisnya, ide ini justru didukung oleh para tokoh cendekiawan muslim yang seharusnya menjadi panutan. Dalam buku yang ditulis Taufik Adnan Amal,[2] Prof. Dr. Quraish Shihab, tanpa memberikan kritik yang berarti dalam pengantarnya, ia menulis, “Kasarnya, ada sejarah yang hilang untuk menjelaskan beberapa ayat atau susunan ayat al-Quran dari surat al-Fatihah sampai surat al-Nas.” Dan masih banyak tokoh lainnya yang mendukung gagasan itu.[3]

    Fenomena ini tidak bisa dibiarkan begitu saja karena akan menyebabkan kaum muslimin ragu-ragu dengan al-Qur’an. Oleh karena itu, makalah ini akan mencoba membahas secara kritis gagasan al-Qur’an edisi kritis ini dari sisi penggagasnya dan kritik-kritiknya terhadap al-Qur’an. Di samping itu, makalah ini juga akan dilengkapi dengan tanggapan para ulama terhadap gagasan dan kritik dari penggagas al-Qur’an edisi kritis ini.

    Taufik Adnan Amal, seorang dosen ‘Ulum AI-Qur’an di IAIN Alaudin Ujung Pandang ingin mengedit Mushaf ‘Uthmani sehingga menjadi al-Qur’an edisi kritis. Ia menyatakan: “Uraian dalam paragraf-paragraf berikut mencoba mengungkapkan secara ringkas proses pemantapan teks dan bacaan AI-Qur’an sembari menegaskan bahwa proses tersebut masih meninggalkan sejumlah masalah mendasar, baik dalam ortograti teks maupun pemilihan bacaannya, yang kita warisi dalam mushaf tercetak dewasa ini. Karena itu, tulisan ini juga akan menggagas bagaimana menyelesaikan permasalahan itu lewat suatu upaya penyuntingan edisi kritis AI-Qur’an.”[25] Jadi, si dosen itu ingin meyakinkan kepada kita, bahwa al-Quran kita saat ini masih bermasalah, tidak kritis, sehingga perlu diedit lagi. Dosen itu pun menulis sebuah buku serius berjudul “Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an” yang juga meragukan keabsahan dan kesempurnaan Mushaf Utsmani. Dia tulis dalam bukunya (2005:379-381): “Terdapat berbagai laporan tentang eksistensi bagian-bagian tertentu al-Quran yang tidak direkam secara tertulis ke dalam mushaf oleh komisi Zayd, dan karena itu menggoyahkan otentisitas serta integritas kodifikasi Utsman…Dengan demikian, pandangan dunia tradisional telah melakukan sakralisasi terhadap suatu bentuk tulisan yang lazimnya dipandang sebagai produk budaya manusia.”

    Jadi, akhir dari usaha para orientalis dalam mengkaji AI-Qur’an adalah mengkritisi dan mengedit Mushaf ‘Uth­mani. Mereka mau menyamakan nasib al-Qur’an dengan Bibel, padahal status teks Bibel dan Al-Qur’an tidaklah sama. Menggunakan metodologi Bibel yang sekular ke dalam studi Al-Qur’an akan mengabaikan sakralitas Al-Qur’an. Kalangan Kristen mengakui Bibel sebagai karangan manusia, sedangkan Al-Qur’an diturunkan dari Allah dan bukan karangan Muhammad. Allah swt. berfirman yang artinya: “Yang tidak datang kepadanya (AI-Qur’an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan yang Maha Bijak­sana lagi Maha Terpuji.” Metodologi Bibel sarat dengan se­jumlah permasalahan mendasar di dalam Bibel yang memang mustahil untuk diselesaikan. Oleh sebab itu, metodologi Bibel akan berakhir dengan kesimpulan mengedit Bibel secara kri­tis. Bagaimanapun, pengalaman tersebut tidak sepatutnya di­terapkan oleh sarjana Muslim.

    Selain itu, sejak zaman para Sahabat hingga kini menye­pakati Al-Qur’an Mushaf `Uthmani. Abu `Ubayd (m. 224 H), seorang yang termasuk paling awal menulis mengenai qira’ah menyatakan: “Kita menilai seseorang itu kafir bagi siapa saja yang menolak apa yang ada diantara dua sampul khususnya, dan itu telah tetap di dalam (mushaf) Imam, yang ditulis oleh `Uthman dengan persetujuan Muhajirin dan Ansar, dan menggugurkan apa selainnya, kemudian ummat menyepakatinya, tidak ada perbedaannya di dalamnya, yang bodoh di kalangan ummat mengetahuinya sebagaimana yang pintar di kalangan mereka, berabad-abad mewariskannya, anak-anak mempelajarinya di sekolah, dan ini merupakan salah satu tindakan ‘Uthman yang mulia, dan sebagian di kalangan yang menyimpang (ahl zaygb) mencelanya, kemudian bagi manusia ke­sesatan mereka menjadi jelas mengenai hal tersebut.”

    VI. Kesimpulan

    Dari uraian di atas, kita mengetahui bahwa ada usaha-usaha para orientalis untuk menjatuhkan otoritas al-Qur’an dari segala aspeknya. Mereka mengkaji sedetail mungkin dan mencari titik kelemahan al-Qur’an untuk disusupi dengan syubhat-syubhat yang akan membingungkan dan menyesatkan umat Islam. Termasuk gagasan al-Qur’an edisi kritis ini, tidak lain adalah perangkap orientalis untuk membingungkan umat Islam, khususnya kalangan awam. Tidak ada hal yang baru dalam kritik-kritik penggagas al-Qur’an edisi kritis ini, semua kritik-kritiknya adalah mengulang permasalahan yang sudah tuntas dibahas oleh ulama-ulama kita terdahulu.

  4. Komentar atas artikel merenungkan sejarah Al Quran
    karya Luthfi Assyaukani (LA)

    saya ga habis pikir, ko tega-teganya seorang LA mengorek-orek kesalahan para sahabat Nabi yang telah teruji keimanan dan keislamannya. Dari mulai asal-usul mushaf yang katanya dibuat berdasarkan kekuasaan sepihak dalam hal ini Khalifah Ustman Bin Affan. Ga ada artinya seorang LA dibandingkan dengan para sahabat Nabi, apalagi Ustman yang sudah dijamin masuk surga.

    Yang lebih parah lagi, ini dibuat oleh orang islam juga yang benar-benar ga bisa mencerna dengan jernih tentang sejarah AlQuran. Yang saya baca di internet, pendapatnya persis orientalis barat yang mencoba mengacak-acak AlQuran semacam Arthur Jeffrey.jika yang membuat non muslim itu sudah jelas permusuhannya, tapi nih dibuat orang islam. Benar-benar menusuk dari belakang.

    Dengan membaca artikel ini kita dipaksa untuk kembali kezaman sejarah terbentuknya AlQuran namun dengan pikiran dan logika-logika yang aneh atau nyeleneh (kata ust. Hartono Ahmad Jaiz). Di sini LA seolah-olah memposisikan dirinya jauh lebih pintar, mengerti dan paham akan sejarah AlQuran itu sendiri yang seperti biasa tidak pernah menyertakan dalil dari hadits tetapi berdasarkan akal pikirannya sendiri. Sebagai modal untuk menguatkan iman kita sebelum terjerumus oleh tulisan-tulisan sesat macam ini, maka firman Allah yang berbunyi ;

    “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan adz-Dzikr (Al-Qur’an), dan kamilah yang akan menjaganya”QS.AL Hijr -(15):9

    Harus ditancapkan ke dalam hati nurani sedalam-dalamnya nih agar tidak ada selentingan atau kalimat-kalimat sesat mengalir kedarah kita. Di bawah ini saya kutip pernyataan beberapa ustadz untuk menjawab penyimpangan dalam artikel Luthfi Assyaukani yang saya anggap mewakili hati nurani saya.

    Pernyataan LA
    “Hakikat dan sejarah penulisan Alquran sendiri sesungguhnya penuh dengan berbagai nuansa yang delicate (rumit), dan tidak sunyi dari perdebatan, pertentangan, intrik, dan rekayasa.”

    Apa buktinya dari pernyataan tersebut?
    LA secara keji menuduh para sahabat yang menuliskan AlQuran seolah-olah memiliki niat jahat untuk mengambil alih kekuasaan dengan merekayasa cara dan isi daripada AlQuran. Padahal seorang sahabat nabi yang bernama Zaid Bin Tsabit selaku penulis AlQuran berkata :
    “Demi Allah, andaikata mereka memerintahkan aku untuk memindah salah satu gunung tidak akan lebih berat dariku daripada memerintahkan aku untuk mengumpulkan Al-Qur’an “
    Sahabat Nabi saja sampai berhati-hati sekali untuk menulis AlQuran karena itu merupakan tugas yang sangat berat tanggung jawabnya. Apalagi sampai-sampai memikirkan keuntungan dari penulisan AlQuran!!

    Lagipula ga sembarangan orang bisa menyampaikan dan menulis AlQuran. Ada beberapa metode yang digunakan para sahabat dan ini menjadikan keabsahan atas keotentikan AlQuran itu sendiri.

    Pertama,
    panitia melakukan pengumuman kepada seluruh shohabat ra di Madinah (jumlah mereka belasan ribu). Umar ra berseru kepada semua orang: “siapa yang telah mengambil Al Qur’an dari Rasulullah maka hendaklah ia datang dengannya!”.12 Diriwayatkan juga bahwa Bilal bin Rabah ra berkeliling kota untuk mencari shohabat ra yang memiliki dokumen Al Qur’an.13 Jadi ini merupakan proyek massal yang terbuka dan diikuti oleh seluruh shohabat. Sehingga tidak bisa disebut sebagai “mush-haf versi penguasa”.

    Kedua,
    panitia duduk di depan masjid, kemudian hanya menerima sesuatu yang padanya terkumpul padanya tiga syarat, yakni:
    • Berupa dokumen tertulis
    • Apa yang ditulis itu telah dikenal dan dihafal oleh banyak shohabat
    • Disertai dua saksi yang menyaksikan bahwa dokumen itu memang ditulis di hadapan Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam.

    Ketiga,
    panitia menyalin semua ragam dokumen yang sah. Ayat-ayat yang memilikii dua bentuk penulisan disalin juga dalam dua bentuk. Misalnya, Al Hadid 24 ditulis dengan dua bentuk: “fa innallaha ghiniyyul hamiid” dan “wa innallaha ghoniyyul hamiid”, juga Asy-syams 15: wa laa yakhoofu `uqbaahaa” dan “fa laa ya khoofu `uqbaahaa“. Kedua bentuk ini dinilai setara, sama-sama berasal dari Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallama, dari Jibril as, dari Allah SWT. oleh karena itu, menurut A’zami, panitia menuliskannya pada dua lembar yang berbeda, bukan salah satu ditempatkan di tubuh teks sementara yang lain dalam catatan pinggir. Dengan demikian tidak ada wahyu yang tercecer.
    (titok.wordpress.com/…/menangkis-gugatan-terhadap-pelembagaan-al-qur’an)
    Dengan ketelitian tingkat tinggi seperti ini masihkah terfikir untuk mencari kekuasaan!!

    Berbagai pernyataan lain yang benar-benar membingungkan umat . diantaranya banyaknya versi AlQuran dari para sahabat. Mana diantaranya yang benar-benar kitabullah?

    Naskah `Utsmani bersumber dari dokumen asli, yang dicek langsung oleh Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam. Sedang apa yang mereka klaim sebagai teks Ibnu Mas’ud radliyallahu ‘anhu itu tidak jelas dari mana asal-usulnya. Dan kalau pun benar bahwa mush-haf Ibnu Mas’ud radliyallahu ‘anhu memang menyalahi teks `Utsmani, mana yang kita pilih? Tidak ada yang menjamin bahwa teks itu dilegitimasi oleh Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallama. Sedang yang ada di tangan kita adalah sesuatu yang teruji otentitasnya.

    LA benar-benar tidak ilmiah dalam menggkritik mushhaf Al Imam. Mereka tidak memandang sama sekali usaha objektif yang dilakukan oleh para shohabat radliyallahu ‘anhum yang terlibat dalam pelembagaan Al Qur’an, mulai dari pengumpulan pada masa Abu Bakar radliyallahu ‘anhu sampai penyalinan pada masa `Utsman radliyallahu ‘anhu. Kemudian mereka memanfaatkan informasi-informasi yang janggal dan tidak jelas asal-usulnya untuk meruntuhkan kepercayaan umat kepada mushhaf Al Qur’an yang dikompilasi dengan sumber dan metode yang benar-benar aman. Apakah mereka ini memang lebih menyukai hal-hal yang aneh, janggal dan lemah? Atau mereka memang dibayar untuk itu?

    Rasululluh telah bersabda”Ada sepuluh orang yang mendapat kabar gembira masuk surga, yaitu : Ayahmu masuk surga dan kawannya adalah Ibrahim; Umar masuk surga dan kawannya Nuh; Utsman masuk surga dan kawannya adalah aku; Ali masuk surga dan kawannya adalah Yahya bin Zakariya; Thalhah masuk surga dan kawannya adalah Daud; Azzubair masuk surga dan kawannya adalah Ismail; Sa’ad masuk surga dan kawannya adalah Sulaiman; Said bin Zaid masuk surga dan kawannya adalah Musa bin Imran; Abdurrahman bin Auf masuk surga dan kawannya adalah Isa bin Maryam; Abu Ubaidah ibnul Jarrah masuk surga dan kawannya adalah Idris Alaihissalam.”

    Apakah kita masih mempercayai seorang LA dan para dedengkot liberal lainnya semacam Taufik Adnan amal yang lebih parah lagi mau membuat (atau sudah dibuat) AlQuran edisi kritis. Dibandingkan dengan sahabat nabi mereka berdua tidak ada artinya sama sekali baik dari segi ilmu maupun ibadah.

    Katakanlah: “Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Qur’an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain”. (Al Israa 88)

    Kesimpulannya upaya apapun yang dilakukan musuh-musuh islam maupun orang yang mengaku islam untuk mengacak-acak AlQuran, baik mencari kelemahan dari faktor sejarah, cara penulisan, perubahan apapun tak akan dapat mengubah keotentikannya karena Allah lah yang menjaganya.

    Di buat oleh
    Nama : Zakaria
    Jurusan : Teknologi Informasi

Tinggalkan komentar